Oleh: KRT Arif Priyantoro Rekso Budoyo*
ALUN-alun berbentuk sebidang tanah persegi dengan rerumputan yang disusun rapi dan dikelilingi jalan raya. Konsep alun-alun adalah konsep yang diprakarsai oleh Kanjeng Sunan Kalijogo.
Di kalangan raja-raja Jawa, pohon beringin merupakan simbol keabsahan seorang raja yang dinobatkan dan keraton tempatnya bersemayam.
Ketika Ki Juru Martani dari Mataram (daerah Yogyakarta sekarang) ingin menghadap Sultan Pajang, ia harus duduk bersila di dekat batang wringin kurung itu.
Baru setelah diketahui oleh Sultan, Ki Juru Martani dipanggil masuk keraton dan ditanya apa maksud kedatangannya. Ternyata ia memberi tahu bahwa Ki Ageng Mataram yang diangkat Sultan Pajang sebagai raja daerah itu telah wafat.
Siapakah yang akan ditunjuk sebagai penggantinya?
Sultan Pajang menunjuk putranya, Ngabehi Loring Pasar atau kepala yang mencakup kabeh (semuanya) di daerah utara pasar.
Sebagai raja Mataram yang baru, ia dibalik namanya menjadi Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama, sebelum kelak balik nama lagi sebagai Panembahan Senopati.
Pada zaman itu hanya Raja Mataram (yang kemudian sudah menaklukkan Sultan Pajang) yang boleh menanam beringin kembar. Itu sudah berlaku sejak Sultan Pajang membangun keraton di sebelah barat Solo dulu dan menanam pohon beringin di alun-alun depan keraton.
Karena dikurung dengan pagar tembok supaya rapi, pohon itu terkenal sebagai wringin kurung.
Raja lain yang kecil-kecil dianggap menyaingin Maharaja Mataram kalau berani meniru menanam beringin kembar, lalu dituduh menantang.
Setelah Belanda benar-benar menguasai Jawa pada abad ke-19, alun-alun mengalami sejumlah pergeseran makna. Meski demikian, para bupati yang bekerja di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial masih meneruskan warisan Mataram.
“Rumah bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur keraton di Surakarta dan Yogyakarta,” tulis Handinoto.
Di depan rumah bupati dibangun pendopo dan di alun-alun diadakan pelbagai acara seperti sodoran, grebegan, dan sebagainya. Warisan tradisional ini menarik pemerintah kolonial untuk mengembangkannya dalam sistem pemerintahan tidak langsung yang mereka jalankan.
Pemerintahan kabupaten yang dipimpin seorang asisten residen (orang Belanda) dan bupati (pribumi), dipusatkan di sekitar alun-alun. Jika rumah bupati dan pendopo berada di sebelah selatan, maka rumah asisten residen biasanya di sebelah utara alun-alun.
Pada masa itu di sekeliling alun-alun, seperti dicatat Olivier Johannes Raap, selain rumah bupati dan pendopo, juga terdapat masjid, gedung pengadilan, penjara, pasar, kantor pos, halte kendaraan umum, kantor polisi, dan fasilitas lainnya.
“Sifat sakral alun-alun di zaman kolonial kemudian berkembang lebih merakyat. Pada zaman kolonial ini menjadi semacam ‘civic space’. Bahkan pada akhir zaman kolonial berkembang menjadi semacam plaza di Eropa,” catat Handinoto.
Begitu pula para bupati yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda di luar daerah kerajaan Mataram. Mereka dikukuhkan dengan pohon beringin tunggal di depan rumah kabupatennya.
Pasca peralihan kepemimpinan Kadhipaten Panjer yang dipimpin KRT Kolopaking IV yang digantikan KRT Aroengbinang IV ditandai dengan perang puputan kupu tarung. Penetapan Arung Binang IV sebagai pemimpin baru disahkan oleh Hindia Belanda yaitu pada 22 Agustus 1831 (Di buku Prof Sugeng Supriyadi).
Kebumen pada waktu itu di bawah Karesidenan Bagelen. Kemudian 1901 karesidenan Bagelen dihapus dan diganti Karesidenan Kedu.
Itulah sebabnya di Alun-alun Kebumen hanya ada satu pohon beringin. Karena Bupati pertama Kebumen KRT Aroengbinang IV diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Bersama RT Hargo Yohanes kami menelusuri jejak sejarah budaya untuk edukasi, agar generasi berikutnya bisa lebih memahami sejarah dan budaya leluhurnya. (data dari berbagai sumber).
*KRT Arif Priyantoro Rekso Budoyo, Ketua Paguyuban Kawula Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Pakasa) Cabang Kebumen.
News & Inspiring